Tuesday, January 17, 2006


Monumen Kebangsaan Kita

Jika kita melakukan ritual merenung tentang kebangsaan kita, apakah yang nampak membayang di depan? Suatu bangsa, nasion yang masih bersosok, yang mencerminkan keinginan yang teguh untuk menyatu dalam satu negara yang merdeka? Atau suatu bangsa yang tidak pusing lagi tentang sosok kebangsaan yang kuat, dan sudah mengendurkan batas-batas pagarnya, dan siap untuk masuk menjadi bagian dari kultur dunia? Nasionalisme, yang oleh Sukarno disebut “suatu keinsyafan rakyat menjadi satu bangsa” adalah suatu “keinsyafan” yang aneh. Itu adalah suatu kerinduan kepada masa lampau yang besar dan menakjubkan, seperti Nehru selalu mengenang kesinambungan kultur India selama ribuan tahun, tetapi yang kemudian dipatahkan dan ditaklukkan oleh kekuasaan asing. Nasionalisme itu adalah suatu kepedihan menyaksikan proses pemiskinan yang berlarut-larut dan melihat prasarana demi prasarana ekonomi dan social runtuh. Kerinduan dan kepedihan itu menumbuhkan suatu kesadaran, suatu keinsyafan untuk bersepakat menjadi satu bangsa. Pada waktu keinsyafan menjadi bangsa terwujud, kebangsaan itu adalah milik yang tak ternilai. Bahkan juga milik yang dijaga dengan penuh rasa cemburu.
(Umar Kayam, Titipan Umar Kayam. Pusat Data dan Analisa TEMPO)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home