Monday, December 18, 2006



Ibu

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

(Iwan Fals; ibu)

Friday, December 01, 2006



Keinginan dan Kenyataan

Pertentangan antara keinginan akan terciptanya kesederajatan menyeluruh dan kenyataan sosiologis yang kuat tentang selalu hadirnya ketaksederejatan adalah pertentangan yang dalam catatan sejarah sudah berusia sejak sejarah manusia dapat ditrasir balik. Ketika pada abad ke-4 sebelum Masehi di dalam Negara-kota Athena mulai diperkenalkan dan dipraktekkan gagasan kemerdekan politik dan kesamaan setiap warga, maka sekurang-kurangnya dua per tiga dari seluruh penduduk Athena berada dalam status budak belian. Dalam masa modern setelah berkembangnya filsafat sosial di Eropa pada paro kedua abad ke-18 hingga abad ke-19, terlihat bahwa tokoh-tokoh pembela kesederajatan ini, dalam hidupnya sehari-hari, tidak dapat menghindar dari ketaksederajatan yang secara teoritis tidak mereka benarkan. Filosof Perancis, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), penganjur kebebasan alamiah untuk setiap orang, lepas dari ikatan kebudayaan dan pendidikan, tercatat sebagai seorang aristokrat yang manja dan eksentrik. Thomas Jefferson di Amerika (1743-1826) yang menganjurkan gagasan kesamaan atau kesederajatan semua orang, yang kemudian dimasukkan ke dalam Declaration of Independence Amerika Serikat, ternyata selama hidup hingga akhir hayatnya adalah seorang pemilik budak-belian. Demikian pula Karl Marx (1818-1883), yang dianggap nabi masyarakat tanpa kelas, melewatkan tiga puluh tahun terakhir hidupnya dalam lingkungan kelas menengah yang menyenangkan di Highgate dan mempekerjakan beberapa pelayan di rumahnya.
Dalam kaitan itu, rumusan “semua orang dilahirkan sama sederajat” (all men are born equal) dalam prakteknya ditafsirkan sebagai “semua orang semacam kita dilahirkan sama-sederajat” (all men who are people like us are born equal).
(Ignas Kleden; Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia; Penerbit Buku Kompas;2001)