Lekra dan Manikebu
Di dalam negeri, Pram teraniaya bukan hanya oleh rezim Orde Baru. Dia juga menerima “karma“ dari rekan-rekan sejawatnya, para sastrawan sendiri. Syahdan, pada paruh pertama tahun 1960-an Pram sangat berkuasa. Sebagai Ketua Lekra dan Pemimpin Redaksi Harian Bintang Timur, dengan lembar kebudayaan Lentera, Pram biasa menghajar lawan-lawan politiknya, terutama para penanda tangan Manifes Kebudayaan, yang dilecehkan dengan sebutan “Manikebu”.
Ketika itu, tak ada Koran atau majalah yang berani memuat karya para “Manikebuis” ini. Hingga mereka harus menulis dengan nama samaran. Diantara para penanda tangan Manifes, Goenawan Mohamad (GM) paling menderita terkena dampak terror Pram cs. Namun, dendam yang tertuju kearah Pram justru datang dari para sastrawan, yang ketika itu belum berbunyi atau jauh dari hiruk pikuk politik. Hingga mereka sebenarnya kurang terkena dampak terror dari Pram.
GM sendiri sebagai wartawan Tempo sempat ke pulau Buru menengok Pram dengan pen uh empati. Ketika Pram meninggal beberapa waktu lalu, Catatan Pinggir GM di Majalah Tempo juga sangat obyektif. Tak tampak sama sekali adanya dendam pribadi, terlebih dendam politik. Beda dengan beberapa sastrawan yang sampai saat ini pun ingatannya masih tertuju ke masa pra- G30S, ketika Pram masih sangat berkuasa. Dendam politik ini tampaknya akan sulit dihapus begitu saja oleh berlalunya waktu.
Sikap para sastrawan yang pernah berseteru dengan Pram sebenarnya tipikal mewakili sikap Pemerintah Indonesia. Meskipun Orde Baru telah tumbang, pemerintahan BJ Habibie, Gus Dur, Mega, dan SBY tidak pernah mencabut larangan beredar buku-buku Pram. Padahal “dosa” politik Pram sudah ditebusnya dengan menderita di tahanan Pulau Buru tanpa pernah diadili. Pencabutan larangan ini penting sebab karya-karya Pram, Sitor Situmorang, Agam Wispi, dan lain-lain selama ini tidak pernah tercantum dalam antologi resmi dan buku-buku sekolah.
(F Rahardi; Pram dan Politik Nobel Kapitalis; Kompas 4 Februari 2007)