Monday, August 08, 2005

Dibawah kibaran sarung

Dibawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi oleh lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“ Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“ Hidup sarung!” seru seoarang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “ Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Dibawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil dimana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.

“ Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“ Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.

Dibawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
dirumah kecil yang dingin terpencil.
seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
Di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan pusimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo temui aku dibawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(Joko Pinurbo, Dibawah kibaran sarung, Yayasan Indonesiatera)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home