Sunday, August 14, 2005


Sosiologi uang

Barangsiapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat atas seluruh manusia; memerintah para jurumasak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya - sejauh satu sen.
(Thomas Carlyle, Sartor Resartus-On Heroes and Hero Worship, Everyman’s library)


Akar kekerasan

Jika kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang dihalangi, energi yang terhalang itu mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang bersifat merusak. Sifat merusak (destruktif) merupakan akibat dari tidak dihidupinya kehidupan. Jadi, kondisi-kondisi individual dan sosial yang menghalangi energi yang memajukan hidup itulah yang menghasilkan sifat perusakan yang pada gilirannya merupakan sumber yang daripadanya memancar berbagai bentuk kekerasan.

Kehidupan mempunyai dinamisme-dalamnya sendiri, ia cenderung untuk tumbuh, diungkapkan dan dihidupkan. Jika kecenderungan ini dihalangi, energi itu mengalami pembusukan dan berubah menjadi energi yang membawa ke perusakan.

Tanpa didukung oleh tanah yang subur, air yang cukup dan iklim yang cocok, sebuah benih akan membusuk dan mati. Demikian juga manusia, ia akan menjelma menjadi makhluk ganas, menyimpang dari fitrahnya yang suci, bila ia hidup di suatu tempat yang di situ kondisi sosial politik, ekonomi dan budayanya tidak memungkinkan ia mengembangkan potensi-potensi manusiawinya.
(Erich Fromm, Akar kekerasan, penerbit Pustaka Pelajar)


Perempuan dan perkawinan

Perkawinan pada saat sekarang ini tak lebih dari sebuah penghinaan yang selalu dimenangkan pihak laki-laki dan keluarganya. Di banyak tempat, bahkan menjadi kenyataan bahwa si pemuda menang sedang keluarganya kalah. Perempuan dipandang layaknya barang dagangan, dibeli dan ditawarkan dari rumah ke rumah. Manakala kecantikannya pudar atau hilang sama sekali, maka ia akan menjadi seperti rongsokan perabotan tua yang ditempatkan di pojok kegelapan.

Peradaban modern telah menjadikan wanita sedikit lebih bijaksana, tetapi juga ikut menambah penderitaannya. Karena ketamakan birahi laki-laki. Perempuan kemarin adalah pelayan yang bahagia, tetapi perempuan hari ini adalah nyonya yang nestapa. Di masa lampau, perempuan berjalan dengan mata buta dibawah terik siang, tetapi kini ia berjalan dengan mata terbuka di dalam kegelapan. Dia cantik dalam ketidaktahuannya, luhur dalam kesederhanaannya, dan kuat dalam kelemahannya. Perempuan masa kini menjadi kasar dalam kecerdikannya, dangkal dalam perangainya, tak berperasaan dalam pengetahuannya. Akankah tiba saatnya, dimana kecantikan dan pengetahuan, kecerdasan dan keseluruhan hati, kelembutan jasmani dan keperkasaan jiwanya, menyatu dalam diri wanita?
(Kahlil Gibran, Sayap-sayap patah, penerbit Yayasan Bentang Budaya)


Agama, manusia, dan Tuhan

Vivekananda mendefinisikan kembali agama bagi pendengarnya di Barat. Ia mengatakan,”Ingat bahwa bahwa agama bukanlah hanya kata-kata, atau doktrin, atau buku, tetapi penyadaran diri. Agama bukanlah suatu pelajaran, tetapi eksistensi”. Ia juga mengatakan ,” Agama yang lama mengatakan bahwa ia yang tidak percaya akan Tuhan adalah seorang ateis. Agama baru mengatakan ia yang tidak percaya pada dirinya sendiri adalah ateis. Agama adalah gagasan yang mengangkat seseorang yang buas menjadi manusia, dan manusia menjadi Tuhan. Hilangkan agama dari masyarakat manusia, maka yang tersisa adalah hutan penuh orang buas”.
(Swami Chetananda, Touched by God, Belur Math)

Monday, August 08, 2005


Perjuangan manusia melawan lupa

Bulan Februari 1948, pemimpin Komunis Klement Gottwald melangkah keluar menuju balkon sebuah istana Barok di Praha untuk menyampaikan pidato di hadapan ratusan ribu rekan-rekan senegaranya yang memadati Old Town Square. Kejadian itu merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah Ceko – semacam momen yang menentukan yang terjadi sekali atau dua kali dalam masa seribu tahun.

Gottwald diapit oleh kawan-kawannya; Clementis berdiri di dekatnya. Tiba-tiba salju turun, dingin, dan Gottwald tidak memakai topi. Sang Clementis yang cemas menanggalkan topi bulunya sendiri dan mengenakannya ke kepala Gottwald.

Seksi propaganda partai mengeluarkan ribuan kopi foto-foto balkon yang bergambar Gottwald, dengan topi bulu di kepalanya dan kawan-kawan di sampingnya, sedang berbicara kepada bangsanya. Di balkon itulah sejarah Cekoslowakia Komunis lahir. Setiap anak tahu foto itu dari poster-poster, buku sekolah dan museum-museum.

Empat tahun kemudian Clementis dituduh melakukan pengkhianatan dan digantung. Seksi propaganda dengan segera menghapusnya dari sejarah dan, tentu saja, juga dari semua foto. Foto itu sejak saat itu, Gottwald berdiri di balkon itu sendirian. Tempat dimana Clementis pernah berdiri, hanyalah dinding istana yang kosong. Yang tersisa dari Clementis hanyalah topi di kepala Gottwald.

Kini tahun 1971, dan Mirek mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.
(Milan Kundera, kitab lupa dan gelak tawa, penerbit Yayasan Bentang Budaya)

Dibawah kibaran sarung

Dibawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi oleh lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“ Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“ Hidup sarung!” seru seoarang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “ Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Dibawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil dimana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.

“ Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“ Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.

Dibawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
dirumah kecil yang dingin terpencil.
seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
Di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan pusimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo temui aku dibawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(Joko Pinurbo, Dibawah kibaran sarung, Yayasan Indonesiatera)


Hukuman

Bicaralah sesuka hatimu tentang dia,
tetapi aku pun tahu kesalahan-kesalahan anakku.

Aku bukan mencintainya karena ia baik,
tetapi karena ia anak kecilku.

Bagaimana engkau tahu betapa berharganya ia
ketika engkau membanding-bandingkan
kebaikan dengan kesalahannya?

Ketika aku harus menghukumnya
ia makin menjadi bagian dari wujudku.

Ketika aku meyebabkan ia menitikkan air mata,
hatiku menangis bersamanya.

Hanya aku sendiri yang punya hak menyalahkan dan meng-hukumnya.
Karena ia hanya boleh dihukum oleh orang yang mencintainya.
(Rabindranath Tagore, bulan sabit-gitanjali, Fajar Pustaka Baru)


Masyarakat modern dan obsesinya

Salah satu ciri masyarakat modern adalah obsesinya dengan memberi label atau menggolongkan-golongkan segala sesuatu. Yang lebih jauh lagi, acapkali pelabelan atau penggolongan itu dilaksanakan tidak secara induktif (berdasarkan kenyataan yang ada), melainkan berdasarkan ideology yang dianggap sah dan mendominasi suatu masyarakat.

Disinilah kita lihat naifnya berbicara mengenai biseks di kalangan eksekutuf kita. Kalau secara esensialis kita berbicara tentang eksekutif yang berperilaku biseks, kira-kira memang ada sih. Tetapi dalam hal ini mengapa kita heran? Mengapa tidak menghebohkan anak buah kapal pinisiyang pada tanggal muda berhubungan seks dengan pekerja seks perempuan (karena bayarannya lebih tinggi) sementara kian mendekati tanggal tua berhubungan dengan pekerja seks waria (karena bayarannya lebih rendah), seperti teramati di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur? Mengapa pula kita tidak pernah mempergunjingkan kenek bus malam yang berhubungan seks dengan penumpang waria waria di jok belakang busnya, dan keesokan harinya pulang sebagai suami dan bapak kepada istri dan anaknya.

Saya pikir wacana kita sangat miskin, dan cenderung elitis. Sebagai masyarakat borjuis kita memegang ideology seksualitas yang kaku, sehingga apabila terjadi “penyimpangan” sedikit saja, langsung kita heboh. Kebanyakan kita tidak terlampau peduli apabila anak perempuan keluarga petani miskin di desa jadi pekerja seks, tetapi heboh apabila remaja putri borjuis ternyata ada di plaza-plaza menjadi pecum (perek cuma-cuma). Banyak dari kita tidak tahu bahwa di pedesaan Ponorogo, umpamanya, ada anak laki-laki yang dijadikan gemblakan (anak asuh yang dilibatkan dalam hubungan seks) oleh orang dewasa (warokan maupun warok), tetapi kebakaran jenggot ada anak-anak yang disemburit (dipenetrasi anal) oleh lelaki dewasa di perkotaan.
(Dr. Dede Oetomo, Memberi suara pada yang bisu, Pusaka Marwa Yogyakarta)


Palu berbicara

Kenapa demikian keras? pernah arang berkata kepada intan; "bukankah kita bersaudara dekat ? "

Kenapa demikian lunak? Oh Saudara-saudaraku, demikian aku tanya pada kalian: bukankah kalian Saudara-saudaraku ?

Kenapa demikian lunak, demikian patuh dan menurut ? Kenapa terdapat demikian banyak penolakan dan pengingkaran dalam hati-hati kalian ? Sedemikian sedikit takdir dalam lirikan-lirikan kalian ?

Dan bilamana kalian tidak mau menjadi takdir-takdir, bilamana kalian tidak mau menjadi yang tak-tertahankan: bagaimana kalian bisa-menaklukkan bersama denganku ?

Dan bilamana kekerasan kalian tidak mau berkilat dan memotong dan memotong sampai berkeping: bagaimana bisa kalian suatu hari-mencipta bersama denganku ?

Karena para pencipta itu keras. Dan harus terasa menyenangkan bagi kalian untuk menekankan tangan kalian pada milenia seperti pada lilin lunak, menyenangkan menulis pada kehendak milenia seperti pada logam-lebih keras dibanding logam, lebih mulia dibanding logam. Hanya yang paling mulia itulah yang paling keras.

Prasasti hukum ini aku letakkan diatas kalian, O Saudara-saudaraku: Jadilah keras!
(Nietzsche, Zarathustra, penerbit Yayasan Bentang Budaya)


Pemimpin dan Pergerakan rakyat

Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan, atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat rakyat mengeluarkannya. Kalau tidak demikian, tidak akan ada pengikut, tidak akan maju pergerakan. Bagaimana juga cakap dan pandai pemimpin, kalau perkataan dan suaranya tidak bertampuk dalam hati rakyat, suara itu akan sia-sia belaka.

Semuanya itu dibuktikan oleh sejarah dunia. Memang sering ternyata, bahwa pemimpin maju ke muka dahulu untuk membangunkan semangat rakyat, sehingga sering pula ia menjadi kurban. Tetapi ini bukanlah tanda, bahwa pergerakan dan semangat rakyat itu dibuat oleh dia. Pekerjaan pemimpin sebenarnya tidak lain dari memberi jalan dan mengalirkan apa yang hidup dalam hati rakyat. Semangat dan perasaan rakyat ditimbulkan oleh keadaan dan penghidupannya sendiri.
(Mohammad Hatta, Memoir, penerbit Yayasan Hatta)


Pendidikan Gaya Bank

Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang tidak dianggap berpengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak kepada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Guru menampilkan diri dihadapan murid-muridnya sebagai orang yang berada pada pihak yang berlawanan; dengan menganggap mereka mutlak bodoh, maka ia mengukuhkan keberadaan dirinya sendiri. Para murid yang bagaikan budak terasing dalam dialektika Hegel, menerima kebodohan mereka sebagai pengesahan keberadaan sang guru--tetapi tidak seperti budak, mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka mendidik gurunya.

Raison d'etre pendidikan yang membebaskan, sebaliknya terletak pada usahanya ke arah rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi guru-murid tersebut, dengan merujukkan kutub-kutub dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya secara bersama-sama adalah guru dan murid.

Pemecahan demikian tidak (dan tidak mungkin) dijumpai dalam konsep pendidikan gaya bank. Sebaliknya, pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut, yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan:
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan muridnya.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur.
(Paulo Freire, Pendidikan kaum tertindas, LP3ES)

Saturday, August 06, 2005


Iman dan Kesetiaan

Untuk keselamatan kelompoknya, raja beruk dewi rimba Panti yang masyur di Minangkabau itu, berdiri di depan, menantang tembakan atau senapan, demi keselamatan anak, bini, dan temannya.

Ibu ayam hitam saya, berhari-hari pulang dengan perut kempis. Semua makanan pulang ke buaian anaknya yang penuh sesak. Meski anaknya sudah kekenyangan dan perutnya sendiri masih kosong, makanan yang saya berikan padanya masih diberikannya kepada anak-anaknya. Penyakit akhirnya menimpanya, sampai kepalanya tak bisa diangkat lagi dan kakinya tak berdaya menyokong badannya. Walaupun nafasnya sudah berkurang, dengan suara sayup makin sayup terus dijawabnya suara anaknya yang memanggil-manggil. Sampai nafas terakhir. Hidupnya seolah-olah cuma buat anaknya…

Tambahkan sendiri oleh Tuan, contoh-contoh ini dengan kejadian di sekeliling Tuan. Hewan cukup memperlihatkan iman untuk menjalankan kewajiban kesetiaan pada kelompoknya, dan khususnya pada anaknya. Sejarah kita manusia berasal dari sejarah hewan, yang tentunya menurunkan sifat mulia untuk mempertahankan dan memajukan masyarakat.
(Tan Malaka, Madilog)

Filsuf Perempuan

Filsafat mempunyai hubungan keganjilan terhadap perempuan. Pandangan tentang perempuan seringkali bias, seksis atau sama sekali diabaikan. Padahal sejak abad ke-17 telah ditemukan karya-karya filsuf perempuan yang membahas persoalan-persoalan filosofis, seperti metafisika, epistemology, teori moral, filsafat sosial dan politik, estetika, filsafat teologi, filsafat ilmu dan filsafat pendidikan. Mary Ellen Waithe dalam bukunya History of Women Philosophers, telah memperlihatkan bahwa sejak 600 SM hingga 500, karya-karya filsafat perempuan sebenarnya telah lama muncul. Dari filsafat Yunani muncul nama-nama, seperti Themistoclea, Theano I dan II, Arignote, Myia, Damo, Aesara dari Lucania, Phintys dari Sparta, Perictione I dan II, Aspasia dari Miletus, Julia Domna, Makrina, Hypathia dari Alexandria, Arete dari Cyrene, Asclepigenia dari Athens, Axiothea dari Philesia, Cleobulina dari Rhodes. Pada volume kedua dari bukunya, Waithe mendaftarkan nama-nama filsuf perempuan yang masuk kategori humanis, seperti Isotta Nogarola, Laora Creta, Casandra Fidele, Olimpia Morata dan Caritas Pickheimer.

Mengapa nama-nama filsuf perempuan tersebut sangat jarang muncul ke permukaan jika tidak mau dikatakan tidak ada? Hal ini sebetulnya tidak mengherankan sebab sudah sejak lama ada upaya-upaya untuk memboikot perempuan berfilsafat, dan ini memang sudah sering dilakukan. Di dunia akademis hal ini jelas terlihat. Pada abad pertengahan misalnya, hanya ada beberapa perempuan yang diperkenankan untuk mendengarkan kuliah-kuliah filsafat, dan ini statusnya hanya sebagai pendengar dan bukan peserta aktif dalam kuliah. Pada awal abad ke-17, tercatat nama Anna Maria van Schurman yang mengikuti kuliah filsafat tapi ini bukan di bangku kuliah karena ia mengikutinya di balik tirai salah satu kelas di Universitas Utrect. Baru pada pertengahan abad ke-17, tepatnya 1678, tersebut nama Elena Cornaro Piscopia yang merupakan perempuan pertama peraih gelar doktor filsafat di Universitas Padua, Venecia. Kejadian ini begitu menggemparkan kota Venecia sehingga tidak mengherankan jika acara pengukuhan doktor perempuan pertama bidang filsafat ini menjadi tontonan pengunjung sekitar 20.000 orang. Karena terlalu menghebohkan, tidak lama setelah pengukuhan Elena Cornaro Piscopia, pihak universitas kemudian memutuskan untuk menolak menerima mahasiswa perempuan.
(Gadis Arivia, Filsafat berperspektif Feminis, penerbit Yayasan Jurnal Perempuan)

Leluhur orang Bali

Kalangan intelektual non Bali, sangat meragukan akan kebenaran asal-usul leluhur orang Bali seperti disebutkan dalam Babad. Mereka berpendapat adanya pengkaitan leluhur orang Bali dengan nama-nama besar dan suci pada kerajaan di Jawa, hanya mengacu pada hubungan sejarah kebudayaan. Dimana kebudayaan Bali itu sendiri berasal dari tanah Jawa. Bahkan sampai ada juga usaha-usaha penelitian terhadap darah orang Bali, kemudian dicocokkan dengan darah orang Jawa. Hasilnya konon tidak ada kesamaan. Tentu saja dan dapat dimaklumi, karena orang Bali yang leluhurnya dari Jawa tidak pernah menjaga kemurnian darahnya, Selama kurun waktu seribu sampai lima ratus tahun yang silam.

Orang Bali dari kalangan bawah, sampai kalangan menengah dan termasuk yang intelektual sekalipun, masih tetap berkeyakinan, bahwa leluhur mereka memang berasal dari Jawa, kecuali orang-orang Bali Mula. Orang-orang Bali Mula ini, menurut sejarah kebudayaan, mereka berasal dari Tonkin (Kochin China).

Untuk membuktikan kebenaran, bahwa sebagian leluhur orang Bali memang berasal dari
Jawa, adalah tentang penggunaan bahasa Jawa Juno yang sangat dominant dalam bahasa Bali, khususnya bahasa Bali Alis Singgih (Asi). Hampir semua bahasa Bali Alus Singgih itu berasal dari kata-kata Jawa kuno.
(I Nyoman Singgih Wikarman, LELUHUR ORANG BALI dari dunia babad dan sejarah, penerbit Paramita Surabaya)


Tafsir Agama dan Toleransi

Semua agama adalah anugerah Tuhan, tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugerah Tuhan berada diluar jangkauan manusia.

Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat? Setiap orang adalah benar dari sudut pandangnya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaan sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antara Kutub Utara dan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri.
(Gandhi, Young India, 2-10-1930)


Wanita Bali tempo doeloe

Sebab itu hai kaoem iboe bangsakoe Bali, marilah bersatoe oentoek menoentoet hak kita. Dan bangsakoe kaoem laki-laki yang soenggoeh-soenggoeh sayang akan bangsa yang lemah, sokonglah kami (I Goesti Ajoe Rapeg, Djatajoe, 25 November 1937, hlm.121-123).

Kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali masih terbelakang dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier pekerjaan, atau dunia politik tentu sulit dibantah. Fakta dan data yang ada di masyarakat dengan mudah bisa mendukung bahwa pendapat itu banyak benarnya. Namun, kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial tentulah keliru.

Bukti-bukti tertulis menunjukkan bahwa wanita Bali bahkan sudah aktif berbicara sejak zaman kolonial untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya. Hal ini bisa dilihat dari publikasi-publikasi dari tahun 1920-an dan 1930-an yang banyak memuat artikel yang ditulis kaum wanita. Lewat tulisan-tulisan tersebut wanita Bali menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi kaumnya. Mereka juga mengkritik atau memprotes ketidakadilan gender yang menimpa kaumnya. Bersamaan dengan itu, mereka juga mendorong wanita Bali agar mau belajar meningkatkan kecerdasan diri sehingga tidak diremehkan dalam kehidupan sosial. Laki-laki Bali yang mengolok-olok wanita dengan menjadikan mereka istri kedua atau mencarikan madu, juga dikecam.

Wanita Bali tak hanya berbicara. Mereka juga terjun ke masyarakat dengan melaksanakan aksi nyata seperti program pemberantasan buta huruf untuk menolong kaumnya agar bisa baca tulis dan sadar akan arti penting kemajuan zaman. Untuk mencapai cita-cita memajukan kaumnya, wanita Bali yang berpendidikan tak hanya mengabdikan diri mnenjadi guru tetapi juga bersatu-padu membentuk organisasi sosial, seperti Poetri Bali Sadar. Diluar tugas resminya sebagai tenaga pengajar formal, mereka juga menyediakan waktu luang mereka untuk datang ke desa-desa menggelar program pemberantasan buta huruf. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, wanita Bali juga mendapat dukungan positif dari sejumlah intelektual laki-laki.
(I Nyoman Dharma Putra, WANITA BALI TEMPO DOELOE perspektif masa kini, penerbit Bali Jani)

Filsafat Timur

Dalam mempertanyakan kriteria Barat dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran filosofis, Foucault mengajukan tesis yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Foucault melihat bahwa suatu patokan keilmuan atau filosofis tertentu sangat dipengaruhi (kalau tidak bisa ’ditentukan’) oleh kekuasaan yang dimiliki pihak-pihak penyampai patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat membantu kita memahami mengapa Barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam penentuan apakah pemikiran Timur merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama ini Barat-lah yang berperan secara dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat atas Timur sangat besar, apalagi dalam ilmu dan filsafat. Penentuan pemikiran Timur sebagai ‘bukan filsafat’ tak lepas dari pengaruh kekuasaan Barat yang menjejalkan kriteria-kriteria mereka kepada pemikiran Timur. Memang secara etimologis (asal-usul kata) istilah filsafat muncul di Barat, namun filsafat bukanlah monopoli Barat. Timur juga punya begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam dan bahkan beberapa lebih mendalam, lebih analitis dan kritis daripada pemikiran Barat.

Fung Yu-lan menunjukkan bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos dan sophis, dengan arti ‘cinta kepada kebenaran’, maka pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat. Pendapat Fung Yu-lan ini jauh-jauh hari sudah dikemukakan Socrates yang dikutip Plato dalam Phaedrus.
(Bagus Takwin, Filsafat Timur, penerbit Jalasutra)

Bayangan tentang Bali

Apa yang seringkali Anda bayangkan tentang Bali? Tiga citra populer yang melekat pada Bali; citra pulau surga, citra Bali sebagai sebuah provinsi yang homogen dan citra keajegan budayanya. Namun, ketiga citra populer yang dilekatkan pada Bali bukanlah sesuatu yang turun begitu saja dari langit, melainkan sesuatu yang bisa dan dibentuk. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang berhasil untuk mendesain dan membentuk citra atas Bali?

Sebagai produk historis, identitas budaya Bali kontemporer bisa saja berubah, diubah ataupun tetap bergantung pada; konteksnya, bangun struktur kekuasaannya dan kerangka kepentingan yang bermain. Pada awalnya, pemerintah kolonial sangat berperan dalam meredefinisi citra Bali, namun dalam perjalanan waktu, citra atas Bali mengalami upaya “pembaharuan” atau bahkan proses komodifikasi oleh aktor-aktor yang baru.
( AA GN Ari Dwipayana, gloBALIsm: pergulatan politik representasi atas Bali).

Friday, August 05, 2005


Sejarah dunia

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasnya. Ya, betapa tragisnya. “ Hidup adalah penderitaan”, kata Budha. Dan manusia tidak bisa bebas dari padanya. Kita hidup dan kita menerima itu sebagai keharusan. Tapi bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis. Memang kita sadar akan kesia-siaan itu. Kita tahu akan absurdnya. Dan itulah hidup. Stand like a hero, and die bravely. Aku kira dan bagiku itulah kesadaran sejarah. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai. Memang hidup seperti ini tidak enak. “Happy is the people without history”, kata Dawson. Dan sejarawan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.
( Soe Hok Gie, sabtu, 16 desember 1961)